Surat kecil untuk mu yang tidak pernah menengok ke belakang sedikit pun & menyadari bahwa ada yang selalu melihat mu di situ.
Aku sudah terbiasa melihat punggung mu, menatap pundak mu
yang tegap & memperhatikan mu berjalan dengan langkah ringan. Aku selalu
berfikir, apakah punggung itu sedang menopang beban yang berat? Apakah pundak
itu bisa di jadikan sandaran untuk orang lain yang membutuhkan? Apakah langkah
itu benar mempunyai makna tersendiri hingga terlihat begitu ringan di mataku?
Aku tidak tahu apa jawaban sebenarnya dari semua pertanyaan
di kepalaku. Ingin sekali aku memanggil mu, meminta mu berhenti, lalu
menanyakan pertanyaan itu untuk mengetahui jawaban dari mu langsung, bukan
orang lain atau siapa pun. Tapi sayang, aku sama sekali tidak menemukan
jawabannya yang membuatku puas. Karena aku tidak memiliki nyali yang lebih
untuk melakukan itu. Sepele memang, tapi justru sangat berpengaruh besar
padaku & kedepannya.
Aku sudah terbiasa melihat punggung itu, seolah itu adalah
pemandangan yang paling indah bagiku. Selalu, selalu aku melukiskan bentuk
sayap yang indah, lebar, putih bersih menghiasi punggung mu itu dengan jari
tangan ku sendiri. Aku membayangkan, sayap itu sekarang sudah terbentuk
sempurna. Kegunaan sayap tidak lain yaitu terbang, ya!
Saatnya kamu terbang! Tapi, dalam lubuk hati ini bertanya
lagi. Relakah kamu membiarkannya terbang lalu pergi begitu saja? Selama ini
apa? Jari tangan mu sudah susah payah kamu menciptakan sayap itu. Lalu, dengan
mudahnya kamu biarkan dia pergi?
Entahlah, tetapi aku hanya bisa terdiam sambil meneteskan
air bah yang perlahan keluar lalu deraslah. Tetapi, sesaat kamu tiba-tiba
tersenyum sangat tulus tanpa terpaksa. Mataku tidak bisa terpejam & air itu
berhenti mengalir. Aku bukan lagi melihat punggung itu sekarang, tapi wajah
cerah yang berseri tanpa noda apapun, terdiam.
Kau membalikan tubuh mu tanpa aku minta. Sesaat aku ingin
melangkah ke arahmu perlahan, kau malah mundur. Aku tidak mengerti, kenapa? Aku
coba melangkah dengan sedikit cepat, kau pun melangkah ke belakang berlawanan
dengan kecepatan yang sama. Aku terdiam. Kembali terdiam.
Kau pun begitu, & senyum itu masih belum menghilang dari
wajah mu. Saat aku mulai mengeluarkan suaraku & bertanya kenapa?
Kau hanya bisa tersenyum, lalu perlahan kau terbang perlahan
menjauhi ku sampai akhirnya aku melihat punggung itu lagi & terngiang suara
mengucap bisik pada ku, “Selamat tinggal”.
Air bah yang aku kira bisa aku bendung itu kembali mengalir
dengan sangat deras tak terkendali. Di sana, aku melihat punggung itu sudah
terdapat sayap yang sempurna. & itu aku buat sendiri, aku yang telah
menciptakan bibit penyesalan ini. Tapi, untuk apa aku menyesal tidak ada
gunanya. Yang ku bisa lakukkan sekarang adalah tersenyum & merelakan dia
memilih yang terbaik.
Aku tidak bisa memaksa orang lain agar memilihku. &
pada akhirnya kau bukan memilihku, kau lebih memutuskan untuk pergi. Di sana,
aku lihat ada sosok lain di sebelah punggung mu. Punggung yang lain, asing. Aku
melihat kau tersenyum padanya, lalu menggandeng tangannya.
Kalian terlihat bahagia. Aku bayangkan kalau orang itu
adalah aku, punggung itu adalah aku & ikut bersandar di pundak mu kemudian
saling melempar senyum. Ya, aku tersenyum sekarang di susul rintik air kecil
yang mengalir ke pipi ku. Semoga kau bahagia.
I miss You!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar